Jumat, 17 Juni 2016

Panca Tugas Gereja


1. Pengertian Panca Tugas Gereja
Katekismus Gereja Katolik merumuskan Gereja sebagai “himpunan orang-orang yang digerakkan untuk berkumpul oleh Firman Allah, yakni berhimpun bersama untuk membentuk Umat Allah dan yang diberi santapan dengan Tubuh Kristus, menjadi Tubuh Kristus” (KGK 777). Himpunan umat Allah terlihat dalam hidup berparoki. Di dalam paroki, himpunan umat Allah mengambil bagian dan terlibat dalam menghidupkan peribadatan yang menguduskan (liturgia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira (kerygma), menghadirkan dan membangun persekutuan (koinonia), memajukan karya cinta kasih/pelayanan (diakonia) dan memberi kesaksian (martyria).
Kehidupan menggereja yang tercermin dalam panca tugas Gereja juga dapat dilihat dalam kehidupan jemaat perdana. Jemaat perdana telah melaksanakan berbagai tugas sebagai perwujudan imannya akan Yesus Kristus (lih. Kis 2: 41-47). Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh jemaat perdana kerap di sebut sebagai panca tugas Gereja. Adapun tugas yang diemban Gereja yakni bertekun dalam pengajaran (kerygma/pewartaan), bertekun dalam persekutuan (koinonia/persekutuan), memecahkan roti dan berdoa (liturgia/peribadatan), menjual harta milik dan membagikan seturut keperluan masing-masing (diakonia/pelayanan), dan bersaksi sehingga disukai semua orang (martyria/kesaksian).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa panca tugas Gereja merupakan tugas-tugas Gereja yang terbagi dalam lima bidang. Adapun kelima bidang tersebut yakni kerygma atau pewartaan, koinonia atau persekutuan, liturgia atau peribadatan, diakonia atau pelayanan, dan martyria atau kesaksian.

2. Bidang-Bidang Panca Tugas Gereja

2.1 Bidang Kerygma (Pewartaan)
Kata kerygma berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya pewartaan Kabar Gembira. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ditemukan dua kata kerja Yunani yang berhubungan dengan kerygma atau pewartaan ini. Pertama, “kerussein” (Ibr. 5: 12) yang menunjuk pada aktivitas pewartaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengenal atau belum percaya kepada Yesus Kristus. Kedua, “didaskein” (Ibr. 6: 1) yang berarti mengajar atau memberikan pelajaran kepada orang yang telah beriman dalam rangka mengembangkan dan memekarkan iman yang sudah mulai tumbuh.
Gereja melaksanakan tugas kerygma bersumber dari perintah Yesus yang mengutus para rasulnya untuk mewartakan Injil (lih. Mat 28: 18-20). Maka, kerygma bermakna sebagai tugas Gereja untuk mewartakan Sabda Allah, yakni karya keselamatan Allah yang terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Dengan demikian, inti pewartaan Gereja adalah mengenai pribadi Yesus Kristus yang melaksanakan karya keselamatan Allah terutama melalui wafat dan kebangkitanNya.
Bentuk pewartaan Gereja ditentukan oleh orang-orang yang menjadi sasaran kegiatan pewartaan. Secara umum bisa dibedakan dua macam kelompok orang. Pertama, bagi kelompok orang atau orang yang percaya kepada Kristus dimana pewartaan dapat berupa pelajaran agama untuk yang mau menerima sakramen-sakramen Gereja, dan juga pendalaman iman atau pengembangan iman yang dapat dilakukan pada masa adven, prapaskah, dan bulan Maria. Kedua, bagi kelompok orang atau orang yang tidak percaya kepada Kristus. Disini dapat diajukan tiga bentuk pewartaan yakni pewartaan bagi yang terbuka dapat dilakukan dengan tidak segan-segan berbicara tentang Kristus atau Injil, pewartaan bagi yang berkeyakinan kuat atau kokoh terhadap agamanya sendiri namun mau bergaul dengan orang kristiani dapat dilakukan dengan membangun hidup bersama dalam persaudaraan, saling bekerjasama untuk kepentingan umum, dan pewartaan bagi yang tertutup atau fanatik bahkan anti Kristus dapat dilakukan lewat kesaksian iman pribadi dalam penampilan hidup yang suci, baik dan benar (P3J-KAS, 1997: 16-17). Adapun beberapa contoh pelaksanaan tugas kerygma atau pewartaan yakni pendalaman iman, pelajaran agama katolik katekese para calon baptis dan persiapan penerimaan sakramen-sakramen Gereja, pendalaman kitab suci, katekese, evangelisasi dan dialog.

2.2 Bidang Koinonia (Persekutuan)
Kata koinonia berasal dari bahasa Yunani yang berarti persekutuan. Kisah Para Rasul 2: 42 melukiskan persekutuan dalam jemaat perdana: “mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan.” Tugas koinonia menyatakan keberadaan Gereja sebagai suatu persekutuan. Kata koinonia merupakan bahasa Yunani, yang berasal dari kata “koin” yang berarti mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (Kis. 2: 41-42). Koinonia berarti sebuah paguyuban atau persekutuan dalam melaksanakan sabda Tuhan. Dalam terang sabda Tuhan inilah Gereja melaksanakan tugas koinonia untuk membangun relasi dengan orang lain sebagai persaudaraan yang berpusat pada Yesus Kristus. Koinonia bisa diartikan sebagai paguyuban dalam melaksanakan sabda, yakni paguyuban sebagai suatu persaudaraan dalam Yesus Kristus yang mendengarkan sabda dan melaksanakan sabdaNya. Dengan demikian, Gereja merupakan suatu persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Melalui persekutuan, Gereja membentuk dirinya jemaat Kristus yang anggota-anggotanya dibentuk menjadi satu tubuh Kristus (1 Kor 12: 13).
Gereja melaksanakan koinonia atau persekutuan untuk membangun relasi dengan sesama sebagai saudara yakni antarpribadi dengan Allah dan antarpribadi dengan sesama manusia. Tugas koinonia ini menjadi sarana di mana orang dapat mengenal dan membantu mengembangkan hidup beriman sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Dalam suasana persekutuan atau paguyuban sebagai persaudaraan itu juga mengungkapkan iman sebagaimana tampak dalam kehidupan Gereja Perdana. “Semua orang yang menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis. 2: 44). Persekutuan semacam inilah yang diharapkan oleh Gereja, yang tetap berpusat pada Kristus. Kristus yang pertama-tama berperan mempersatukan semua anggota, yang kemudian menjadi nyata dalam keterlibatan dan pelayanan bersama.
Persekutuan (koinonia) berarti ikut serta dalam persekutuan atau persaudaraan sebagai anak-anak Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh KudusNya. Setiap orang beriman dipanggil dalam persatuan erat dengan Allah Bapa dan sesama manusia melalui Yesus Kristus, PuteraNya, dalam kuasa Roh Kudus. Melalui bidang karya ini, dapat menjadi sarana untuk membentuk jemaat yang berpusat dan menampakkan kehadiran Kristus. Oleh karena itu diharapkan dapat menciptakan kesatuan: antar umat, umat dengan paroki/keuskupan dan umat dengan masyarakat. Paguyuban ini dapat diwujudkan dalam menghayati hidup menggereja baik secara territorial (keuskupan, paroki, stasi / lingkungan, keluarga), dalam komunitas basis Gerejani, maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja dan juga terlibat dalam paguyuban atau kelompok yang ada di masyarakat.

2.3 Bidang Liturgia (Peribadatan)
Kata liturgia berasal dari bahasa Yunani yaitu liturgi. Liturgi berarti ibadat umum dan resmi Gereja. Ibadat ini dilaksanakan berdasarkan tata cara yang sudah disahkan oleh pimpinan Gereja yang berwenang. Ibadat dipimpin oleh petugas yang ditentukan untuk ibadat yang bersangkutan. Selain itu, liturgia yang merupakan bahasa Yunani berasal dari kata kerja leitourgian (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Namun untuk pemahaman sekarang ini, kata liturgi berkaitan dengan Ekaristi dan ibadah. Liturgi merupakan upaya yang membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli pelayanan Gereja.
Dalam tugas liturgia, Gereja berusaha membantu para anggotanya agar memiliki hubungan yang semakin dekat dengan Allah. Gereja tidak hanya menawarkan aneka bentuk dan rumusan doa tetapi mau menjadi tempat orang merasakan dan menghayati komunikasi dengan Bapa, bersama Putera, dalam Roh Kudus. Intinya adalah kesatuan pribadi dengan Putera dalam penyerahanNya kepada Bapa. Hal ini juga mengandung dua unsur yang mendasar bagi kehidupannya, yakni unsur kemuliaan Allah dimana Gereja mengungkapkan imannya untuk memuliakan Allah, dan unsur pengudusan manusia yang dalam arti bahwa dalam liturgia ini Gereja merayakan suatu peristiwa dimana Allah menguduskan manusia.
Doa juga merupakan ungkapan iman secara pribadi dan bersama-sama. Doa juga merupakan dialog yang bersifat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam hidup yang nyata ini. Dalam doa, dituntut untuk lebih mendengar daripada berbicara, sebab firman Tuhan akan selalu menjadi pedoman yang menyelamatkan. Bagi umat kristiani, dialog ini terjadi di dalam Yesus Kristus, sebab Dialah satu-satunya jalan dan perantara kita dalam berkomunikasi dengan Allah. Perantara ini tidak mengurangi sifat dialog antar-pribadi dengan Allah. Selain itu, peranan dan fungsi doa bagi orang Kristiani, antara lain: mengkomunikasikan diri kita kepada Allah; mempersatukan diri kita dengan Tuhan; mengungkapkan cinta, kepercayaan, dan harapan kita kepada Tuhan; membuat diri kita melihat dimensi baru dari hidup dan karya kita, sehingga menyebabkan kita melihat hidup, perjuangan dan karya kita dengan mata iman.
Gereja melaksanakan tugas liturgia atau peribadatan yang tentu saja berkaitan dengan liturgi. Sebab liturgi merupakan puncak dari seluruh kegiatan Gereja dan dari liturgi seluruh anggota Gereja akan bersama-sama dipersatukan untuk memuji dan memuliakan Allah. Oleh karena itu, tugas liturgia berarti ikut serta dalam perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam GerejaNya kepada Allah Bapa. Dalam kehidupan menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Hal ini dinyatakan dengan doa, simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan umat. Partisipasi aktif dalam bidang ini diwujudkan dalam memimpin perayaan liturgis tertentu seperti: memimpin ibadat sabda atau doa bersama, berdoa rosario bersama, berdoa novena, ibadat sabda hari minggu, doa pribadi, merayakan ekaristi, merayakan sakramentali, membagikan komuni, menjadi: lector, pemazmur, organis, mesdinar, paduan suara, dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi dan sikap badan.

2.4 Bidang Diakonia (Pelayanan)
Kata diakonia berasal dari bahasa Yunani, yang memiliki arti pelayanan. Diakonia merupakan salah satu segi hidup Gereja yang membidangi pelayanan kepada masyarakat. Gereja dibangun bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melayani orang lain. Penekanan segi pelayanan mengacu pada pola perutusan Kristus yang datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Selanjutnya, kata diakonia yang merupakan bahasa Yunani berasal dari kata kerja “diakon” yang berarti melayani. Tuhan Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20: 28). Dari sebab itu, Santo Paulus juga menganggap pekerjaannya sebagai suatu “diakonia” artinya pelayanan dan dirinya sebagai “diakonos” artinya pelayan bagi Kristus (2 Kor 11: 23) serta bagi umat Kristus (Kol 1: 25).  
Pelayanan merupakan suatu pemberian diri dan penyaluran karunia. Rasul Petrus menasihati, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia” (1 Ptr 4: 11). Gereja diundang untuk melakukan pelayanan dengan kekuatan yang dianugerahkan Tuhan. Pelayanan kepada sesama yang membutuhan, tidak sekedar memberikan dana, tetapi sebagai suatu pemberian diri, sebagaimana dilakukan Kristus yang telah datang untuk melayani dan memberikan nyawa bagi banyak orang (Mrk 10: 45). Sebagaimana juga para rasul: “ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai keperluan masing-masing” (Kis 2: 45). Memberikan diri bagi sesama yang membutuhkan berarti juga memberikan hati, waktu, pemikiran, dan tenaga. Kiranya hal ini bisa menjadi suatu persembahan hidup yang berkenan kepada Allah (Rom 12: 1-2).
Bagi Gereja, menggalakkan aktivitas pelayanan merupakan dorongan oleh panggilan untuk mencintai Tuhan dan sesama. Gereja terpanggil untuk melayani dan bukan untuk berkuasa. Panggilan Gereja untuk mewujudnyatakan diakonia sebagai bentuk panggilan relasional agar saling melayani atau menolong dalam kesetiakawanan. Suatu panggilan untuk memperjuangkan prinsip hidup memberi dan bukan mengambil demi kepentingan, kepuasan dan kekenyangan pribadi.
Gereja melaksanakan tugas pelayanannya berpusat pada pelayanan Yesus Kristus. Barangsiapa menyatakan diri murid, ia wajib hidup sama seperti hidup Kristus (bdk. 1Yoh 2: 6). Pelayanan berarti perwujudan iman kristiani untuk mengikuti jejak Kristus. Dari sini dapat ditemukan beberapa ciri pelayanan Gereja. Ciri pertama ialah bersikap sebagai pelayan. Yesus menyuruh para muridNya untuk selalu bersikap “yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua (Mrk 9: 35). Ciri kedua ialah kesetiaan pada Kristus sebagai Tuhan dan Guru. Yesus menjadi teladan semangat pelayanan Gereja. Ciri ketiga ialah orientasi pelayanan pada kaum miskin. Yesus tidak segan untuk hidup bersama kaum miskin. Gereja bertugas untuk melayani kaum miskin, bukan karena belas kasihan melainkan karena harkat dan martabat diri yang sama di hadapan Allah. Dan ciri keempat ialah kerendahan hati. Gereja tidak boleh membanggakan dirinya, tetapi tetap melihat dirinya sebagai “hamba yang tak berguna” (Luk 17: 10).
Terdapat tiga bentuk diakonia atau pelayanan Gereja. Pertama, pelayanan karikatif yang dilakukan dalam jangka pendek dengan memberikan bantuan secara langsung misalnya orang lapar diberikan makanan. Kedua, pelayanan reformatif yang menekankan aspek pembangunan yakni tidak sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian seperti penyelenggaraan kursus keterampilan, dan pemberian atau pinjaman modal kepada sesama. Ketiga, pelayanan tranformatif sebagai tindakan Gereja untuk melayani umat manusia secara multidimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multisektoral (ekonomi, politik, hokum dan agama). Selain itu, diakonia atau pelayanan merupakan segala bentuk pelayanan kepada semua orang yang membutuhkan pertolongan atau pelayanan. Umat beriman saling melayani dan memperhatikan kebutuhan sesamanya, baik yang seiman maupun setiap orang yang membutuhkan. Contoh dari diakonia atau pelayanan adalah badan amal, poliklinik, donor darah, yayasan yatim piatu, rumah jompo, dana solidaritas, ikut serta dalam kepengurusan lingkungan seperti RT, RW, pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan mata gratis, pelayanan terhadap orang meninggal, merawat umat yang sakit, dan mengunjungi orang sakit.

2.5 Bidang Martyria (Kesaksian)
Kata martyria berasal dari bahasa Yunani yakni “marturion” yang berarti kesaksian. Kesaksian berasal dari kata dasar “saksi” yang diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar. Martyria merupakan bidang hidup atau pelayanan Gereja yang berpusat pada kesaksian kepada masyarakat, baik lewat kata-kata maupun tindakan terutama lewat karya nyata. Lebih lanjut, “martyrion” merupakan kesaksian yakni sebuah panggilan Injili umat kristiani. “Martyrion’ berarti memberikan kesaksian dengan hidup dan sikap-sikap seseorang, serta dengan cara orang itu bertindak. Sikap orang tersebut harus mencerminkan semangat injili sehingga dapat menjadi saksi yang dijiwai kekuatan Roh Kudus.
Tugas Gereja untuk memberikan kesaksian berpusat pada Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah saksi yang memberikan sabda rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Yesus adalah saksi yang setia dan benar (Why 3: 14). Yesus memanggil para rasul untuk menjadi saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi (Kis 1: 8). Gereja melaksanakan kesaksian agar umat manusia dihantar kepada kerinduan akan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Hendaknya seperti Kristus yang berkeliling sambil berbuat baik (Mat 9: 35) demikian juga Gereja membangun relasi dengan semua orang, khususnya dengan yang miskin dan tertimpa kemalangan dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (2 Kor 12: 15).
Kesaksian atau martyria berarti ikut serta dalam menjadi saksi Kristus bagi dunia. Hal ini dapat diwujudkan dalam menghayati hidup sehari-hari sebagai orang beriman di tempat kerja maupun di tengah masyarakat, berani memperjuangkan ketidakadilan, membantu orang-orang miskin dan terlantar, tetap setia kepada Yesus ketika menghadapi kekerasan atau teror dari orang lain, berlaku hidup baik, berani menceritakan tentang Yesus kepada sesama, menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan, ketika menjalin relasi yang baik dengan umat beriman lain, dan dalam relasi hidup bermasyarakat. Melalui bidang karya ini, umat beriman diharapkan dapat menjadi ragi, garam dan terang di tengah masyarakat sekitarnya. Selain itu, Gereja juga dipanggil dan diutus untuk menjadi saksi atau martir Kristus. Gereja dapat belajar dari kehidupan para orang kudus (santo dan santa) yang dengan setia memberikan kesaksian iman akan Yesus kepada orang lain. Gereja dapat belajar dari kehidupan Santa Monika yang berhadapan dengan suami dan puteranya yang kafir. Kesaksiannya akhirnya dijawab Tuhan dengan pembaptisan suami dan anaknya menjadi uskup terkenal. Santa Agnes yang setia kepada Kristus justru berhadapan dengan pemimpin kafir yang menjatuhkan tuduhan karena menolak menyembah berhala. Akhirnya berkat kesaksiannya, Santa Agnes yang setia kepada Kristus harus dihukum mati. Kehidupan Mother Teresa yang selama hidupnya melayani orang-orang miskin di Calcuta India, Uskup Romero yang mati karena membela orang miskin di kota San Salvator.

Sumber Pustaka:
  1. ______. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, penerjemah). Jakarta: Obor.
  2. _____. 1995. Katekismus Gereja Katolik (Herman Embuiri, penerjemah). Ende: Arnoldus.
  3. ______. 2009. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
  4. Bagiyowinardi, Didik. 2008. Siap Menjadi Pengurus Lingkungan. Jakarta: Obor.
  5. Fallo, Cornel P. 2014. Lima Pilar Pelayanan Gereja. Retrieved 28 Maret 2015, darihttp://henkesfallo.blogspot.com/2014/11/lima-pilar-pelayanan-gereja.html.
  6. Ismail, Andar. 1996. Selamat Melayani Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Buku Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud.
  8. Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi.                 Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor. 
  9. Panca Tugas Gereja (Liturgia, Koinonia, Kerygma, Diakonia, Martyria). (n.d). Retrieved 20       Februari 2015, dari https://www.facebook.com/notes/iman-katolik/panca-tugas-gereja -             liturgia-koinonia-kerygma-diakonia-martyria/10150456710675178.
  10. Mariyanto, Ernest. 2004. Kamus Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. 
  11. Suwita. 2002. Bidang Paguyuban. Malang: Dioma.
  12. Tule, Philipus. 1994. Agama-Agama Kerabat dalam Semesta. Ende: Nusa Indah.


Senin, 10 Juni 2013

Pesan Teologis Kitab Ulangan



BAB I
PENGANTAR

Kitab Ulangan merupakan kitab terakhir dari rangkaian Pentateukh. Kitab ini ditulis sebagai kotbah dan peringatan terakhir Musa bagi umatnya. Kotbah dan peringatan merupakan petunjuk bagaimana umat harus hidup yang ditanah yang dijanjikan Yahwe kepada mereka. Kitab ini ditulis pada abad VII. Kitab Ulangan ingin menekankan pentingnya kesetiaan terhadap janji Yahwe bila Israel ingin selamat. Kitab ini berisi amanat perpisahan Musa yang didalamnya mengulas kembali dan memperbaharui perjanjianYahwe dengan Israel demi angkatan Israel yang baru. Kitab Ulangan terdiri dari serangkaian khotbah-khotbah yang diucapkan Musa di depan bangsa Israel waktu mereka berada di negeri Moab. Mereka kini sudah mencapai akhir dari pengembaraan di padang gurun dan siap masuk ke Kanaan.

1.    Arti Kitab Ulangan
Kitab ini merupakan suatu kitab yang berisi tantangan bagi Israel untuk taat atau memberontak pada Yahwe. Nama kitab Ulangan dirangkum dalam baris pertama yang berbunyi “inilah perkataan-perkataan itu”. Makna dari Kitab Ulangan ialah Ulangan itu sendiri. Kitab ini menyatakan diri kepada Israel sebagai pengharapan terakhir, yakni taat dan hidup atau tidak taat dan mati. Keragaman komentar dan ciri-ciri Kitab Ulangan menunjukkan betapa sukarnya menemukan suatu uraian yang sederhana untuk karya teologis yang demikian kompleks dan canggih. Meskipun begitu, kitab ini memiliki tujuan yang sederhana. Aliran Deuteronomis ingin membuat tradisi kuno berbicara kembali pada waktu ada krisis besar di Isarel, untuk membantu mereka mengatasi krisis ini. Kitab Ulangan menganjurkan agar bangsa Israel mempelajari kembali ajaran-ajaran pada tahun pembinaan mereka di padang gurun dibawah pimpinan Musa.

2.    Asal Usul Ulangan
Salah satu pendapat paling lama dalam penyelidikan alkitabiah modern berasal dari permulaan abda XIX yang menyebutkan bahwa Kitab Ulangan sebagai “kitab hukum” yang ditemukan di Bait Suci oleh Imam Agung Hilkiah. Kitab ini bertanggalkan pada Pembuangan Babel (587-539 SM), karena berisi banyak bahan yang dapat diberi tanggal pada akhir abad VII SM. Di masa ini, bangsa Israel diambang kehancuran, sehingga membuat kaum Deuteronomis mempersembahkan kitab hukum yang tertulis dan berwibawa dan meminta bangsa Israel untuk memilih kehidupannya.
Kitab Ulangan disusun untuk menyediakan suatu pola hidup baru bagi Israel. Kitab ini muncul dalam masa pembuangan, yang disusun oleh para penatua yang menganggap diri sebagai penjaga tradisi hukum kuno Israel. Mereka mengambil tradisi itu, mengubahnya, mengembangkan, menyebarluaskan, dan menarik kesimpulan teologis. Semuanya itu demi pola hidup baru bagi Israel.

3.    Bentuk dan Susunan
Kitab Ulangan memiliki hubungan dengan tradisi perjanjian di Timur Dekat. Kitab Ulangan tidak disajikan sebagai suatu perjanjian. Kitab ini menggunakan bentuk-bentuk dari tradisi perjanjian, tetapi disajikan sebagai suatu rentetan peritiswa wejangan-wejangan yang diberikan kepada Israel oleh Musa menjelang kematiannya. Ulangan adalah wasiat Musa kepada Israel, yang akan merebut Kanaan dalam waktu dekat. Dalam bentuknya sekarang, Ulangan terdiri atas empat wejangan Musa kepada Israel, dengan nada menasihati.
Maksud Kitab Ulangan ialah untuk memberi semangat kepada Israel agar menaati hukum. Nasihat untuk taat merupakan inti Kitab Ulangan, yang diubah dalam bentuk perjanjian antara Allah dengan Israel. Jadi, unsur-unsur dari tradisi perjanjian di Timur Dekat Kuno dipakai dalam Kitab Ulangan untuk memberi nilai dan kepentingan baru dari ketaatan, yang akibatnya membuat kasih orang kepada sesamanya sebagai ukuran dan bukti kasihnya kepada Yahwe.



BAB II
GAGASAN-GAGASAN TEOLOGIS KITAB ULANGAN
 DAN RELEVANSINYA BAGI UMAT DAN CALON KATEKIS

1.    GAGASAN-GAGASAN TEOLOGIS KITAB ULANGAN
Dalam Ulangan kita membaca pengulangan dan penekanan kembali dari perjanjian yang dibuat antara Allah dan bangsa Israel di Sinai. Kitab Ulangan menggambarkan”kehidupan berbahagia” dalam persekutuan dengan Allah sambil menikmati segala berkat-Nya, dan membandingkannya dengan akibat yang terjadi bila mereka melalaikan perjanjian. 
         Daftar berkat dan kutuk menekankan kesungguhan dari perjanjian dengan Allah. Ulangan menegaskan bahwa Allah sungguh-sungguh mempunyai kuasa untuk mendatangkan semua berkat dan kutuk itu. Dengan demikian, Kitab Ulangan memiliki banyak gagasan-gagasan teologis yang hendak disampaikan kepada para pendengarnya, yang memiliki makna supaya bangsa Israel dapat memenuhi perjanjian tersebut.
Beberapa gagasan-gagasan teologis yang dapat ditemukan dalam Kitab Ulangan, yakni:

1.    Allah mengasihi umatNya
Kasih Allah membuat relasi dengan manusia menjadi lebih mendalam. Allah mengasihi bangsa Israel karena kasih setiaNya kepada manusia, dan bangsa Israel menjadi simbol kasih Allah tersebut. Perjanjian Allah mencerminkan tindakan Allah yang penuh kebaikan dan kasih setia. Allah mengasihi bangsa Israel yakni dengan memberikan tanah terjanji bagi kehidupan mereka. Sebaliknya juga bangsa Israel dituntut supaya mengasihi Allah yakni dengan taat kepadaNya (Ul 11:1, Ul 6:4-5, Ul 19:9).

2.     Kesetiaan Allah pada umatNya
Allah tidak pernah meninggalkan bangsa Israel. Ini merupakan bentuk kesetiaan Allah untuk umatNya. Salah satu hal yang memungkinkan bangsa Israel melihat perjanjian itu sebagai dasar dari kehidupan bangsa mereka adalah pengetahuan bahwa Allah dapat diandalkan sepenuhnya. Kesetiaan Allah juga tampak dalam memenuhi janjiNya untuk memberikan tanah Terjanji kepada bangsa Israel. Allah senantiasa menyertai, melindungi dan menghantarkan umat pilihanNya untuk memasuki tanah yang yang telah dijanjikanNya.

3.    Berkat bagi yang taat kepada perjanjian
Musa menjadi tokoh penting bagi kehidupan bangsa Israel. Musa merupakan perantara Allah yang berfirman kepada umatNya. Kitab Ulangan berisikan perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel. Konsekuensinya yakni Allah dapat memberikan berkat (Ul 28:1-14) kepada umatNya, terutama bagi mereka yang taat pada perjanjianNya. Allah menjanjikan berkat kepada bangsa Israel (Ul 7:12-26). Adapun beberapa berkat yang ingin dicurahkan Allah kepada bangsa Israel yakni:
·      Allah akan memberikan kemakmuran bagi mereka yaitu umur panjang dan kesehatan (Ul 5:16)
·      Kemakmuran bangsa Israel sebab Allah memberi kemenangan dengan mengalahkan banyak musuh (Ul 7:22)
·      Allah menjauhkan segala wabah penyakit bagi bangsa Israel (Ul 7:15)
·      Bangsa Israel memperoleh kemakmuran dalam negerinya yakni kesuburan tanaman dan ternak serta keadaan cuaca yang baik (Ul 28:3, 11, 12).
·      Allah memberkati dan memberi hasil melimpah dari tanah yang dijanjkanNya kepada bangsa Israel (Ul 7:13)

4.    Allah memberikan kutukan bagi yang tidak mentaatiNya
Bangsa Israel memiliki hubungan timbal balik dengan Allah. Itulah makna dari perjanjianNya. Disatu pihak Allah memberi berkat bagi mereka yang taat kepadaNya, dan dilain pihak Allah memberikan kutukan (Ul 28:15-46) kepada mereka yang tidak mentaatiNya. Beberapa kutukan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang tidak taat yaitu:
·      Mereka akan mengalami banyak kekalahan dalam menghadapi musuh sampai punah dan binasa (Ul 28:20, 25)
·      Malapetaka bagi rakyat. Akan terjadi epidemi yang menakutkan, keluarga akan terpecah-belah dan tidak ada keamanan (Ula 28:21, 22, 28, 32, 42).
·      Terjadi kekeringan yang dasyat dan tanaman serta binatang akan binasa (Ul 28:22-24, Ul 28:38-40).
·      Allah memberikan musibah (wabah penyakit) sampai mereka punah (Ul 28:60-61)

5.    Allah Perjanjian
Bangsa Israel menyebut Allah mereka dengan sebutan Yahwe. Mereka menganggap bahwa Yahwe merupakan pusat kehidupan mereka. Tanpa Yahwe, mereka tidak bisa memperoleh Tanah Terjanji. Yahwe sangat mengasihi umat manusia sehingga memanggil bangsa Israel untuk bersekutu denganNya. Bentuk persekutuannya yakni dengan mengadakan perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel. Sehingga Yahwe dikenal dengan sebutan Yahwe Perjanjian atau Allah Perjanjian. Dalam Dia perjanjian itu ada. Hanya ada satu Allah dalam Perjanjian tersebut (Ul 4:35), Dia adalah Bapa bangsa Israel (Ul 1:31). Allah merupakan penguasa berdaulat yang bertahta diatas segalanya (Ul 10:17), Allah yang murah hati dan lemah lembut, Allah yang pecemburu dan tidak ingin disaingi (Ul 5: 9), dan seterusnya.

6.    Kewajiban-Kewajiban yang harus dilaksanakan dalam Perjanjian
Perjanjian Allah kepada bangsa Israel menimbulkan konsekuensi bagi bangsa Israel. Mereka memiliki kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut, khususnya untuk selalu mentaati perintah Allah. Saat menjalin hubungan dengan Allah, mereka harus mengakui kedaulatanNya untuk menjadi sebuah bangsa yang suci dan layak bagi Allah. Maka perjanjian yang diadakan kedua belah pihak merupakan perjanjian yang luhur yang suci. Allah mengasihi umatNya dan membuat perjanjian supaya umatNya selalu setia kepadaNya dan dapat memperoleh keselamatan. Adapun beberapa contoh kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bangsa Israel yakni: kasih setia kepada Allah (Ul 6:5), percaya secara total kepada Allah tanpa keraguan sedikitpun (Ul 13:1-18), kewajiban untuk mendidik anak-anak (Ul 4:9), kewajiban untuk selalu taat pada Allah dalam segala bidang (Ul 11:1, Ul 8:1), dan sebagainya.

7.    Penyerahan total kepada Allah
Bangsa Israel menjadi salah satu bangsa pilihan Allah untuk menyatakan sabdaNya. Dengan hal ini, Allah telah menyatakan kehendakNya untuk menyelamatkan manusia. Selain kasih Allah tersebut, Allah juga mengharapkan sesuatu dari umatNya. Yang diharapkanNya yakni penyerahan total, kesetiaan yang utuh, dan pengabdian dengan sepenuh hati (Ul 6:4-9). Semua ini berarti mengikuti kehendak Allah dalam setiap segi kehidupan seperti diatur dalam perintah-perintah di dalam perjanjian.

8.    Kesepuluh Firman Allah sebagai hukum yang harus ditaati
Musa mendapat perutusan untuk menyampaikan firman yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa Israel. Firman tersebut dikenal dengan sebutan sepuluh Firman Allah. Hal ini berarti Allah memberikan hukum atau peraturan yang harus ditaati oleh mereka. Hukum tersebut sebenarnya merupakan perjanjian Allah bagi bangsa Israel yang harus diwariskan secara turun temurun. Dengan adanya hukum ini, bangsa Israel mendapat peraturan hukum sebagai pedoman kehidupan dan tanda ketaatannnya kepada Yahwe.


2.    RELEVASI KITAB ULANGAN
2.1    Bagi Umat
Kitab Ulangan merupakan sebuah kitab yang berisi perjanjian antara manusia dengan Allah. Allah menghendaki agar manusia selalu taat pada perintah yang diberikanNya. Apabila manusia taat pada perjanjian dan kehendakNya, maka Allah memberikan berkat kepada manusia. Namun sebaliknya kalau manusia melanggar perjanjian tersebut maka Allah memberikan kutukan. Inilah hukum perjanjian yang secara singkat menjelaskan maksud dari Kitab Ulangan. Umat saat ini banyak yang sudah mengetahui segala hukum yang diberikan oleh Allah. Umat semakin memiliki pemikiran yang kritis dalam menjalani hidup sebagai anggota Gereja.
Bagi umat, Kitab Ulangan memiliki peranan penting. Kitab ini mengajak umat untuk semakin menyadari kasih Allah yang telah dicurahkan kepada mereka. Kitab Ulangan memberi pengajaran kepada umat untuk selalu memiliki hubungan yang erat dengan Allah. Hubungan itu bersifat pribadi yang mengarahkan umat untuk pengalaman langsung dan mutakhir dengan Allah. Hal ini berarti malalui Kitab Ulangan, umat diajak untuk memiliki relasi yang kuat dengan Allah. Hubungan itu harus senantiasa dihidupi terus menerus supaya umat dapat mengalami persekutuan hidup dengan Allah. Selain itu, Kitab Ulangan yang berisi perjanjian tersebut memberi gambaran kepada umat untuk taat kepada Allah. Apa konsekuensinya? Kitab Ulangan memberi peneguhan iman kepada umat yakni jika umat mentaati perjanjian maka akan memperoleh berkat, tetapi juga jika umat tidak mentaati perjanjian maka akan memperoleh kutukaan. Hal ini menuntut umat untuk berelasi secara menyeluruh. Artinya, umat diajak untuk berelasi dengan Allah secara total mencakup segala sesuatu tentang dirinya.
Selain itu, Kitab Ulangan mengajarkan umat tentang hukum yang harus ditaati. Hukum itu ialah kesepuluh Firman Allah. Dengan firman Allah ini, diharapkan umat semakin menghayati kehidupannya untuk tetap patuh terhadap perjanjian itu. Hukum itu dikatakan oleh Musa kepada bangsa Israel, yang hingga saat ini menjadi ajaran bagi Gereja untuk diwariskan terus menerus. Artinya bahwa kesepuluh Firman Allah memiliki peranan penting bagi hidup umat. Dengan tujuan agar umat tidak bertindak sembarangan dalam kehidupan sehari-hari. Kitab Ulangan membantu umat untuk mengarahkan dirinya kepada Allah agar tidak mengalami kesesatan.  Umat diajak untuk taat kepada hukum Allah sebagai perjanjian antara Allah dengan manusia. Harapannya ialah umat yang mentaati perjanjian tersebut memperoleh berkat karunia dari Allah.

2.2    Bagi Calon Katekis
Bagi kehidupan calon katekis, Kitab Ulangan memberi arah tujuan hidup baru. Calon katekis diarahkan untuk menghayati hidup ini sebagai berkat yang diberikan Allah. Calon katekis dapat mengerti tentang sepuluh Firman Allah, sebab kitab ini memuat kesepuluh Firman Allah yang saat ini terus dihidupi. Selain itu, calon katekis mendapat gambaran makna dari perjanjian yang diadakan oleh Allah dengan bangsa Israel.
Kitab Ulangan memberi penjelasan bahwa Allah berfirman melalui utusannya yakni nabi Musa. Musa berfirman kepada Israel agar mereka selalu taat pada perjanjiannya. Artinya bahwa calon katekis juga merupakan orang yang dipanggil oleh Allah untuk tugas perutusan yakni mewartakan Kerajaan Allah. Calon katekis juga diajak untuk taat pada perjanjiannya dengan Allah. Selain itu, di dalam Kitab Ulangan termuat wejangan-wejangan Musa dan juga banyak nilai kehidupan yang perlu dicontoh. Salah satu contoh nilai kehidupan yang bisa diteladani oleh calon katekis ialah berkat Allah akan diterimanya jika ia taat pada perjanjian dengan Allah, namun kutukan Allah juga dapat menimpanya kalau ia tidak taat padaNya.
Kemudian Kitab Ulangan memberi gambaran pada calon katekis tentang situasi yang dialami oleh bangsa Israel saat ingin memasuki tanah Kanaan. Gambaran situasi yang terjadi ialah bangsa Israel tidak dengan mudah masuk tanah tersebut, malainkan masih menghadapi banyak masalah, baik itu masalah dalam bangsanya maupun peperangan untuk merebut tanah Kanaan dari suku lain. Ini merupakan sebuah peneguhan bagi calon katekis, bahwa dirinya juga mendapat kesulitan yang harus dihadapi saat mempersiapkan diri menjadi katekis. Namun calon katekis mendapat peneguhan dalam kitab ini bahwa Allah selalu menyertai umatnya dalam setiap langkah hidupnya di dunia ini. Ini berarti calon katekis tidak boleh takut dalam mengadapi tantanga hidup ini sebab Allah yang penuh kasih tetap melindunginya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Kitab Ulangan merupakan kitab yang memuat sejumlah wejangan Musa. Kitab ini menceritakan kembali hal ikhwal umat Israel di padang gurun. Selain itu diceritakan juga bagaimana hukum yang telah berlaku diceritakan kembali pada waktu diumumkan. Kitab ini berada di bagian terakhir Kitab Pentateukh, yang menurut kebanyakan orang ditulis oleh Musa sendiri. Kitab ini oleh Vulgata diberi nama Deuteronomium yang berarti hukum atau taurat kedua. Gambaran secara umum tentang kitab ini ialah berisi wejangan Musa dan juga perjanjian antara Allah dengan manusia. Disatu sisi perjanjian tersebut memberikan berkat bagi mereka yang taat pada perjanjian, namun disisi lain memberi kutukan kepada mereka yang tidak taat pada perjanjian. Secara keseluruhan, Kitab Ulangan mengajak kita semua untuk mentaati segala perintah yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian, Kitab ini mengungkapkan bentuk kesetiaan Allah kepada umatNya.


DAFTAR PUSTAKA

Bergant, Dianne dan Robert J.Karlis. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta:: Kanisius.
Darmawijaya, St. 1992. Pentateukh atau Taurat Musa. Yogyakarta: Kanisius.
Sanjaya, V. Indra. 2003. Membaca Lima Kitab Pertama. Yogyakarta: Kanisius.